Sabtu, 14 Mei 2016

Contoh Cerpen Persahabatan

Kerikil Persahabatan
Oleh Rizki Hakam Kurniadin


          Terdengar suara kepakan sayap ratusan burung di langit. Naluri membawa mereka pulang. Langit mulai berubah oranye. Kini sudah waktunya Sang Surya pulang digantikan Dewi Luna dan gemerlapnya pelita langit. Di ujung hari itu, terlihat seorang anak duduk di ayunan. Ialah Devi, siswa kelas 7 sekolah menegah pertama.

          Hening kala itu. Angin malam menusuk tubuhnya yang terbungkus kaos putih tipis. Ayunan itu bergerak perlahan mengikuti tolakan kakinya. Ia lalu memandang ke langit sore yang dipenuhi burung bertebangan. Dua hari yang lalu, ia mengalami peristiwa yang tidak bisa ia lupakan, peristiwa yang menyangkut Erin, sahabatnya.

           Erin adalah sahabat Devi semenjak ia duduk di bangku taman kanak-kanak. Ia mengalami patah tulang di bagian kaki kirinya akibat kecelakaan yang tidak disengaja oleh sahabatanya sedniri. Rasa bersalah menghantui diri Devi. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat sekarang. Devi ibarat orang yang tersesat di tengah hutan tanpa penunjuk arah. Sudah cukup ia kehilangan banyak teman, ia tidak mau kehilangan sahabatnya juga.

          Pagi itu, Devi dan Erin berangkat sekolah bersama-sama. Seperti biasa, mereka mengenakan sepeda untuk sampai ke sekolah. Gurauan mereka berdua terdengar renyah sekali, melukiskan betapa indahnya persahabatan. Tapi, kehangatan tadi berubah saat Valina menghampiri mereka berdua.
“Dasar anak cupu! Minggir sanah, aku mau lewat!” kata Valina menghina Erin dengan predikat ‘cupu’.
“Valina! Kalau kamu mau lewat, lewat aja! Nggak usah ngejek gitu ke Erin, bisa gak sih?!” ucap Devi emosi membela Erin.
“Udah Vi! Kamu kan tahu sikapnya Valina gimana? Udah gak usah ditanggapin! Lebih baik kita masuk kelas aja, yuk!” ajak Erin.
“Awas kamu nanti!” ancam Devi terhadap Valina.
          Tanpa respon apapun, Valina berlalu dengan sikapnya yang cuek. Valina adalah teman sekelas Erin dan Devi. Semenjak Erin selalu mendapat peringkat 1, Valina mulai memendam rasa iri yang berlebihan sehingga ia tidak dapat menahanya dan melampiaskanya pada Erin melalui kelakuan buruknya setiap hari.
“Anak-anak, hari ini iuran kelas. Setelah itu, dikumpulkan di meja saya maksimal saat istirahat kedua. Oh iya, Erin, karena kamu bendahara, saya minta kamu yang menarik dan mengumpulkan uangnya ke meja saya.” Perintah bu Veve.
          Erin mengangguk dan mulai menarik uang iuran kas kelas satu persatu teman sekelasnya.
          Pada saat jam istirahat, Hendri hendak memasuki kelas setelah jajan di kantin. Hendri adalah teman sekelas Erin dan Devi. Hendri memakai kacamata minus 4,5 dengan bingkai bulat yang berwarna hitam. Hendri bertubuh kurus. Rambutnya disisir ke kanan dan kiri, rapih sekali. Ia memakai celana sampai pusar. Alhasil, penampilannya begitu konyol atau bisa juga disebut ‘cupu’. Namun, dengan penampilanya yang begitu, ia selalu masuk dalam 5 besar peringkat sekolah.

          Hendri menunda niatnya untuk segera memasuki kelas, ia memperhatikan seorang yang mengalihkan perhatiannya karena tingkah lakunya sangat mencurigakan. Ternyata itu Valina. Hendri terheran-heran, sedang apa Valina sendirian di dalam kelas? Gumamnya di dalam hati. Hendri mengintip dari jendela kelas.Valina sedang mengendap-endap sembari celingukan mendekati tas

Erin lalu ia memasukan kertas putih seperti amplop ke dalam tas Erin. Setelah melakukan aksinya, Valina berlalu meninggalkan kelas dan berusaha menutupi aksinya dengan seolah-olah seperti tidak melakukan apapun.

“Hei!” kaget Devi.
“Astaga! Oh.. ya tuhan.. hampir aja jantungku copot!” gerutu Hendri.
            “ Hayo, kamu lagi ngapain, Hen? Ngintip apa sih?” tanya Devi.
            “Apaan sih, Vi! Orang aku lagi memastikan ada orang atau enggak di kelas. Ngintip! Ngintip! Apaan coba kalo gitu? Ya udah, Vi aku mau masuk kelas.” balas Hendri dengan nada sebal
            “Aneh banget anak itu! Ah, ya sudahlah.” Devi lalu masuk ke dalam kelas juga.

          Terdengar suara sepatu hak tinggi tengah melewati lorong kelas. Seketika, dari pintu kelas terlihat sosok perempuan berambut panjang sebahu dengan wajah kurang bersahabat. Rasa penasaran muncul di pikiran mereka semua. Hanya 1 pertanyaan yang muncul di benak mereka ada masalah apa kali ini?. Sebab, sebelumnya, bu Veve pernah datang dengan wajah cemberut dan akhirnya memarahi mereka karena tidak ada satupun yang mengerjakan PR matematika padahal sudah diberi tahu. Bu Veve adalah wali kelas 7A, kelas Erin dan teman-temanya.

            “Kenapa uang kas hari ini belum juga dikumpulkan? Kan ibu sudah memberi batasan waktu pada istirahat kedua, apa kalian tidak mengerti juga? Erin? Kemari.” Perintah bu Veve.
            Spontan, semuanya kaget. Erin yang tadi sudah mengumpulkan uang kas itu bingung harus berbuat apa.
            “Iya, ada apa, bu?” tanya Erin.
            “Saya sudah menyuruhmu mengumpulkan uang itu bukan?!” tanya bu Veve dengan nada tinggi.
 “Iya, memang sudah saya kumpulkan saat istirahat pertama, Bu” jawab Erin.
            “Oke! Kalau begitu, sekarang letakan tas kalian di atas meja!” perintah bu Veve.
            Bu Veve lalu menggeledah satu persatu tas teman-teman sekelas Erin. Ternyata, uang itu berada di dalam tas Erin. Sontak, Erin kaget dan terheran-heran bagaimana bisa uang yang telah ia kumpulkan tadi ada di dalam tasnya?
            “Erin, ini apa?” tanya bu Veve.
            Erin terdiam membisu.
            “Erin, ibu tanya sekali lagi. Ini apa?! Mengapa kamu bilang sudah mengumpulkanya padahal sudah jelas ada di dalam tasmu? Apa kamu berniat mengambilnya?” tanya bu Veve dengan nada menggertak.
            Erin sangat ketakutan. Ia perlahan membuka mulutnya untuk memberikan penjelasan kepada bu Veve.
            “Ma.. maaf, bu. S..sa..saya tadi memang s..su..dah meng.ngumpulkan di me..ja ibu, t..tapi, saya ti..dak tahu bagaimana uang ini b..bisa ada di d..da..lam tas s..saya.” jelas Erin dengan terbata-bata.
           
             “Apakah itu benar? Saya ketika istirahat tadi sedang berada di kelas 7D sehingga saya tidak tahu kamu sudah mengumpulkannya atau belum.” Ucap bu Veve.
“Mungkin ada yang usil, bu!” ujar Mala.
            “Apakah dari kalian ada yang melihat seseorang memasukan uang kas ini ke dalam tas Erin?” tanya bu Veve.
            “Bila kalian masih ngotot tidak mau mengaku, ibu akan melaporkan kalian semua ke BK agar kalia mau membuka mulut!” ancam bu Veve.
            “Bagaimana? Masih ada yang belum mengaku?” tanya bu Veve.

            Seketika, Hendri tunjuk jari. Ia memberi pengakuan bahwa Valinalah yang memasukan uang itu ke dalam tas Erin pada saat istirahat tadi. Valina memasukan uang itu ke dalam tas Erin saat tidak ada seorangpun yang berada di kelas. Sebenarnya ketika sesudah dari kantin, ia ingin masuk ke kelas. Ia tidak sengaja melihat Valina yang sedang mengendap-endap mendekati tas Erin lalu ia mengintipnya lewat jendela kelas tanpa sepengetahuan Valina.

            “Apa benar itu, Valina?” tanya bu Veve menanyakan Valina.
            Sialan si Hendri!, katanya di dalam hati.
            “Ti.. tidak kok, Bu! Saat istirahat tadi, saya bersama Ify sedang berada di kantin. Mana mungkin saya memasukan uang kas situ ke dalam tas Erin, itu hal yang tidak berguna, bu. Bila tidak percaya, tanyakan saja pada Ify, bu” Les Erin.

            Saat bu Veve menanyakan kepada Ify, Valina mengedipkan matanya berulang kali menandakan Ify harus meng ’iya’ kan Valina. Ifypun menjawab bahwa ia memang benar pergi bersama Valina saat istirahat tadi ke kantin untuk membeli jajan.

            “Ya sudah, akan ibu lihat di ruang monitor.” Kata bu Veve.
            Kemudian, bu Veve pergi berlalu melangkahkan kaki keluar meninggalkan kelas.
          Sepulang sekolah, Erin tidak seperti biasanya. Erin pulang sendirian, tanpa Devi. Devi sedang menyelesaikan tugas sekolahnya terlebih dahulu di sekolah sehingga ia tidak bisa pulang bersama Erin.

            “Eriin!” panggil Valina.
            Erin menengok ke belakang melihat Valina memangginya.
            “Aku tidak menyangka, ternyata orang yang selama ini aku anggap cupu adalah pencuri!” bentak Valina.
            Runtuh hati Erin mendengar perkataan Valina mencaci maki dirinya.
            “Apa maksudmu bicara begitu, Lin?” tanya Erin.
            “Alaaahh! Jangan belagak sok polos deh! Aku tahu meski kamu kelihatan polos, tapi kamu itu sebenarnya busuk! Dasar penipu!” gertak Valina.

            Devi melihat mereka berdua adu mulut di pinggir jalan depan sekolah sehinngga Devi datang membela Erin meski tugasnya belum selesai.

            “Apa maksudmu menuduh sahabaku begitu?! Memangnya kamu punya bukti apa, ha?” bela Devi.
            “Aku kan cuma bilang fakta kalau si cupu ini emang yang nyuri uangnya!” ujar Valina.
            Devi hendak memukul Valina namun dihalangi Erin.
            “Jangan, Vi!” teriak Erin melarang.
            Devi dikuasai oleh emosi sehingga ia tanpa sadar mendorong sahabatnya itu ke jalan.
            “Minggir!” kata Devi.

            Dari arah depan, ada motor yang melaju kencang. Alhasil, motor itu menelindas kaki Erin sehingga Erin tak sadarkan diri.

            “Ya tuhan! Erin!” teriak Devi melihat sahabatnya tergeletak berdarah di tengah jalan.
            “ Oh tidak, Erin! Tolong! Tolong!” teriak Devi meminta pertolongan.

         Spontan, orang yang berada disekitar jalan itu mendekati Erin. Mereka dengan segera membawa Erin ke rumah sakit. Valina melihat kejadian itu. Ia tersadar bila orang yang selama ini disakitinya adalah orang baik-baik. Hati Valina luntur karenanya. Ia merasa sangat bersalah atas perbuatanya yang telah menyakiti Erin selama ini.

          Fajar menyingsing. Devi berangkat sekolah dengan perasaan bersalah. Kini ia sendiri. Sahabat yang biasa menemaninya berangkat dan pulang sekolah, kini tergeletak lemah di rumah sakit. Devi mengayunkan sepedanya perlahan sembari meneteskan air matanya. Ia teringat bila di waktu pagi hari seperti ini, ia sedang tertawa ria bersama Erin. Ia hanya merasakan kesedihan dan penyesalan yang dalam.

          Devi memasuki kelas. Ia lalu duduk di kursinya. Ia memandang tempat duduk disebelahnya. Kosong. Hanya kursi kosong. Ya, itu adalah tempat dimana sahabatnya duduk bersebelahan denganya. Kelas terasa sepi tanpa kehadiran Erin yang selalu membuat Devi terseyum cerah. Semua kebahagiaan itu, tidak bisa ia dapatkan hari ini.

            “hei, Vi! Dengar-dengar, Erin kecelakaan ya?” tanya Mala.
            Devi hanya menganggukan kepala. Ia tidak mau mengingat kejadian itu lagi.
            “Bagaimana keadaanya sekarang?” tanya Mala lagi.
            “Oh ayolah, Mala! Erin baik-baik saja kok! Sekarang ia dirawat di rumah sakit.” Balas Devi.
            “Dia sa…” belum selesai Mala melanjutkan pertanyaanya, Devi memotongnya.
            “Sssstttt!!! Udah, udah, itu ada bu Veve.” Perintah Devi.
            “Selamat pagi anak-anak.” Sapa bu Veve.
            “Anak-anak, Erin hari ini tidak masuk karena kemarin mengalami kecelakaan di depan sekolah. Erin menderita patah tulang kaki kiri dan luka ringan. Baiklah, Hari ini, ibu akan menyampaikan jawaban atas permasalahan uang kas kemarin. Setelah ibu lihat di CCTV, memang benar apa yang disampaikan Hendri bahwa Valinalah yang menaruh uang kas tersebut ke dalam tas Erin.” terang bu Veve.

          Spontan, setelah bu Veve menyebut namanya, Valina langsung berdiri dan berjalan ke depan kelas. Ia meminta maaf kepada teman-teman kelas 7A dan terutama kepada Erin karena dia telah membuat nama baiknya tercemar. Valina juga yang merupakan salah satu biang keladinya kecelakaan yang berujung patang tulang yang diderita Erin. Ia mengaku sebagai orang yang memasukan Uang kas ke dalam tas Erin. Valina mendapatkan uang kas itu saat ia mengunjungi ruang guru. Ia berpura-pura bertanya tentang mapel IPS yang kebetulan tempat duduk guru mapel IPS terletak bersebelahan dengan tempat duduk bu Veve. Ketika keular dari ruang guru, Ia dengan sigap mengambil uang kas itu dan memasukanya ke dalam tas Erin agar Erin mendapat reputasi buruk. Namun, kini ia telah mengerti bahwa semua yang telah ia lakukan itu salah. Valina sudah siap menerima ejekan dan caci maki karena menurutnya, ia memang pantas menerimanya.

          Bu Veve terkagum atas kejujuran Valina. Semuanya memberi tepuk tangan. Hati Valina bergetar. Ia tak menyangka bahwa teman-temanya akan sebaik ini padanya. Selama ini, Valina sudah terlalu jauh dengan teman-teman sekelasnya. Ia lebih suka menyendiri. Namun, akhirnya ia mengerti, betapa indahnya pertemanan. Akhirnya, bu Veve memberi nasehat agar Valina menghapus sifat iri kepada orang lain. Bu Veve juga berpesan kepada Valina yang isinya buatlah kebajikan kepada setiap orang.

            “Terima kasih, Bu! Sekali lagi, saya minta maaf atas segala kelakuan dan perbuatan buruku teman-teman.” Ucap Valina tulus meminta maaf.
            Tidak disadari, air matanya menetes, itulah air mata penyesalan. Ia sungguh menyesal atas segala kelakuan buruknya.

          Dewi Luna sudah Nampak bersinar terah di atas permadani hitam bersama pelita malamnya. Hari sudah larut malam. Devi masih berada di ayunan. Ia masih sedih bila kejadian dua hari yang lalu ketika ia membuat sahabatnya terluka. Akhirnya, ia putuskan untuk menjenguk Erin besok sore. Angin malam semakin terasa dibadan Devi. Devi segera masuk kamar dan bersiap untuk tidur. Sebelum tidur, tak lupa ia selalu berdo’a untuk kebaikan Erin. Ia lalu menarik selimutnya dan berannjak tidur.

          Esok sorenya, Devi menjenguk Erin di rumah sakit. Devi membawa bunga berwarna ungu untuk sahabatnya. Erin dirawat di ruang Anggrek, sama seperti bunga kesukaanya Devi sampai di kamar nomor 12, nomor yang sama seperti tanggal kelahiran Erin.  Devi mengetuk pintu lalu masuk ke dalamnya. Di ruangan itu, terlihat Erin yang tergeletak lemah. Kaki kirinya di gantung dan dibidai sedangkan pelipis kananya dibalut oleh sehelai kain.

            “Rin, kamu masih marah, ya?” tanya Devi.
            Erin hanya tersenyum melihat kedatangan Devi.
            “Erin, aku minta maaf, karena aku, kamu jadi begini.” Devi mengucapkan maaf kepada Erin.
            “ Udah, Vi. Nggak usah dibahas lagi. Sebelum kamu minta maaf, aku udah maafin kamu kok, Vi. Justru seharusnya aku yang berterima kasih karena kamu telah membelaku dari Valina, dan selalu berada disisiku apapun keadaanya.” Ucap Erin.

            Mata Devi berkaca-kaca mendegar kebesaran hatinya. Erin bak memiliki hati seorang malaikat.         
          Terdengar suara ketukan pintu. Pintu kamar itu terbuka. Valina datang membawa sekeranjang buah. Ia lalu meletakannya di atas meja. Erin dan Devi terkejut atas kedatangan Valina. Valina tersenyum melihat mereka berdua.

            “Hai.” Sapa Valina.
            “Mau apa kamu kesini? Apa kamu kurang puas udah mbuat Erin jadi begini?!” gertak Devi.
            “Aku hanya ingin menjenguknya saja.” Balas Valina denga tenang.
            “Erin, bagaimana keadaanmu?” tanya Valina.
            “Udah baikan kok, Lin. Makasih ya.“ jawab Erin.
            Erin merasa aneh dengan sikap Valina kali ini. Dia telah berubah.
            “Rin, aku minta maaf atas segala perbuatan dan kelakuan buruku kepadamu hingga membuatmu jadi begini.” Valina memegang tangan Erin dengan penuh harap Erin akan memaafkan segala kesalahanya.
            “Iya, aku udah maafin, Lin.” Jawab Erin berbesar hati.
            Valina tak kuasa menahan haru sehingga air matanya menetes keluar.
            “Lin, kenapa kamu menangis?” tanya Erin.
            “Enggak, ngga papa, Rin. Aku Cuma kelilipan aja.” Ucap Valina.

            Erin mencoba duduk meskipun ia masih sangat sulit untuk duduk. Erin lalu mengusap air matanya. Hati Valina tersentuh oleh perlakuan Erin kepadanya. Valina lalu melepaskan tangan Erin di wajahnya yang berlinang ar mata.

            “Sudah, Erin. Bila kau begini terus, aku akan tambah bersedih. Aku sangat tidak pantas mendapat perlakuan seperti ini darimu mengingat kekejamanku yang teramat sangat ketika dulu. Lebih baik, kau membalasku dengan caci makian, bukan seperti ini caranya, Rin.” Gumam Valina.
            “Lin, sesama teman, kita harus saling menyayangi satu sama lain. Kita kan teman, Lin. Aku tidak akan membiarkan temanku bersedih bila ada disampingku. Aku ingin setiap orang yang mengenalku bahagia bisa bertemu denganku. Aku ingin membuat hidup ini lebih indah.” Terang Erin.
            “Teman katamu?” tanya Valina tidak percaya.
            “Iya, Teman.” Balas Erin.

            Air mata Valina semakin deras ketika mendengar perkataan Erin yang begitu berarti baginya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kedamaian hati yang sangat ketika berada di dekat Erin.

            “Apakah kita bisa jadi teman, Rin?” tanya Valina.
            “Tentu. Kau adalah teman baikku, Lin!.”
           

--SELESAI--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar