Kerikil
Persahabatan
Oleh
Rizki Hakam Kurniadin
Terdengar
suara kepakan sayap ratusan burung di langit. Naluri membawa mereka pulang.
Langit mulai berubah oranye. Kini sudah waktunya Sang Surya pulang digantikan
Dewi Luna dan gemerlapnya pelita langit. Di ujung hari itu, terlihat seorang
anak duduk di ayunan. Ialah Devi, siswa kelas 7 sekolah menegah pertama.
Hening
kala itu. Angin malam menusuk tubuhnya yang terbungkus kaos putih tipis. Ayunan
itu bergerak perlahan mengikuti tolakan kakinya. Ia lalu memandang ke langit
sore yang dipenuhi burung bertebangan. Dua hari yang lalu, ia mengalami
peristiwa yang tidak bisa ia lupakan, peristiwa yang menyangkut Erin,
sahabatnya.
Erin
adalah sahabat Devi semenjak ia duduk di bangku taman kanak-kanak. Ia mengalami
patah tulang di bagian kaki kirinya akibat kecelakaan yang tidak disengaja oleh
sahabatanya sedniri. Rasa bersalah menghantui diri Devi. Ia tidak tahu apa yang
harus ia perbuat sekarang. Devi ibarat orang yang tersesat di tengah hutan
tanpa penunjuk arah. Sudah cukup ia kehilangan banyak teman, ia tidak mau
kehilangan sahabatnya juga.
Pagi itu,
Devi dan Erin berangkat sekolah bersama-sama. Seperti biasa, mereka mengenakan
sepeda untuk sampai ke sekolah. Gurauan mereka berdua terdengar renyah sekali,
melukiskan betapa indahnya persahabatan. Tapi, kehangatan tadi berubah saat
Valina menghampiri mereka berdua.
“Dasar
anak cupu! Minggir sanah, aku mau lewat!” kata Valina menghina Erin dengan
predikat ‘cupu’.
“Valina!
Kalau kamu mau lewat, lewat aja! Nggak usah ngejek gitu ke Erin, bisa gak
sih?!” ucap Devi emosi membela Erin.
“Udah
Vi! Kamu kan tahu sikapnya Valina gimana? Udah gak usah ditanggapin! Lebih baik
kita masuk kelas aja, yuk!” ajak Erin.
“Awas
kamu nanti!” ancam Devi terhadap Valina.
Tanpa respon apapun, Valina berlalu
dengan sikapnya yang cuek. Valina adalah teman sekelas Erin dan Devi. Semenjak
Erin selalu mendapat peringkat 1, Valina mulai memendam rasa iri yang
berlebihan sehingga ia tidak dapat menahanya dan melampiaskanya pada Erin
melalui kelakuan buruknya setiap hari.
“Anak-anak,
hari ini iuran kelas. Setelah itu, dikumpulkan di meja saya maksimal saat
istirahat kedua. Oh iya, Erin, karena kamu bendahara, saya minta kamu yang menarik
dan mengumpulkan uangnya ke meja saya.” Perintah bu Veve.
Erin mengangguk dan mulai menarik
uang iuran kas kelas satu persatu teman sekelasnya.
Pada saat
jam istirahat, Hendri hendak memasuki kelas setelah jajan di kantin. Hendri adalah
teman sekelas Erin dan Devi. Hendri memakai kacamata minus 4,5 dengan bingkai bulat
yang berwarna hitam. Hendri bertubuh kurus. Rambutnya disisir ke kanan dan
kiri, rapih sekali. Ia memakai celana sampai pusar. Alhasil, penampilannya
begitu konyol atau bisa juga disebut ‘cupu’. Namun, dengan penampilanya yang
begitu, ia selalu masuk dalam 5 besar peringkat sekolah.
Hendri
menunda niatnya untuk segera memasuki kelas, ia memperhatikan seorang yang
mengalihkan perhatiannya karena tingkah lakunya sangat mencurigakan. Ternyata
itu Valina. Hendri terheran-heran, sedang
apa Valina sendirian di dalam kelas? Gumamnya di dalam hati. Hendri
mengintip dari jendela kelas.Valina sedang mengendap-endap sembari celingukan
mendekati tas
Erin lalu ia memasukan kertas putih seperti amplop ke
dalam tas Erin. Setelah melakukan aksinya, Valina berlalu meninggalkan kelas
dan berusaha menutupi aksinya dengan seolah-olah seperti tidak melakukan
apapun.
“Hei!” kaget Devi.
“Astaga! Oh.. ya tuhan..
hampir aja jantungku copot!” gerutu Hendri.
“ Hayo,
kamu lagi ngapain, Hen? Ngintip apa sih?” tanya Devi.
“Apaan
sih, Vi! Orang aku lagi memastikan ada orang atau enggak di kelas. Ngintip!
Ngintip! Apaan coba kalo gitu? Ya udah, Vi aku mau masuk kelas.” balas Hendri
dengan nada sebal
“Aneh
banget anak itu! Ah, ya sudahlah.” Devi lalu masuk ke dalam kelas juga.
Terdengar
suara sepatu hak tinggi tengah melewati lorong kelas. Seketika, dari pintu
kelas terlihat sosok perempuan berambut panjang sebahu dengan wajah kurang
bersahabat. Rasa penasaran muncul di pikiran mereka semua. Hanya 1 pertanyaan
yang muncul di benak mereka ada masalah
apa kali ini?. Sebab, sebelumnya, bu Veve pernah datang dengan wajah
cemberut dan akhirnya memarahi mereka karena tidak ada satupun yang mengerjakan
PR matematika padahal sudah diberi tahu. Bu Veve adalah wali kelas 7A, kelas
Erin dan teman-temanya.
“Kenapa
uang kas hari ini belum juga dikumpulkan? Kan ibu sudah memberi batasan waktu
pada istirahat kedua, apa kalian tidak mengerti juga? Erin? Kemari.” Perintah bu
Veve.
Spontan,
semuanya kaget. Erin yang tadi sudah mengumpulkan uang kas itu bingung harus
berbuat apa.
“Iya,
ada apa, bu?” tanya Erin.
“Saya
sudah menyuruhmu mengumpulkan uang itu bukan?!” tanya bu Veve dengan nada
tinggi.
“Iya, memang sudah saya kumpulkan saat
istirahat pertama, Bu” jawab Erin.
“Oke!
Kalau begitu, sekarang letakan tas kalian di atas meja!” perintah bu Veve.
Bu Veve
lalu menggeledah satu persatu tas teman-teman sekelas Erin. Ternyata, uang itu
berada di dalam tas Erin. Sontak, Erin kaget dan terheran-heran bagaimana bisa uang yang telah ia kumpulkan
tadi ada di dalam tasnya?
“Erin, ini apa?”
tanya bu Veve.
Erin
terdiam membisu.
“Erin, ibu
tanya sekali lagi. Ini apa?! Mengapa kamu bilang sudah mengumpulkanya padahal
sudah jelas ada di dalam tasmu? Apa kamu berniat mengambilnya?” tanya bu Veve
dengan nada menggertak.
Erin
sangat ketakutan. Ia perlahan membuka mulutnya untuk memberikan penjelasan
kepada bu Veve.
“Ma..
maaf, bu. S..sa..saya tadi memang s..su..dah meng.ngumpulkan di me..ja ibu,
t..tapi, saya ti..dak tahu bagaimana uang ini b..bisa ada di d..da..lam tas
s..saya.” jelas Erin dengan terbata-bata.
“Apakah
itu benar? Saya ketika istirahat tadi sedang berada di kelas 7D sehingga saya
tidak tahu kamu sudah mengumpulkannya atau belum.” Ucap bu Veve.
“Mungkin ada yang usil, bu!”
ujar Mala.
“Apakah
dari kalian ada yang melihat seseorang memasukan uang kas ini ke dalam tas
Erin?” tanya bu Veve.
“Bila
kalian masih ngotot tidak mau mengaku, ibu akan melaporkan kalian semua ke BK
agar kalia mau membuka mulut!” ancam bu Veve.
“Bagaimana?
Masih ada yang belum mengaku?” tanya bu Veve.
Seketika,
Hendri tunjuk jari. Ia memberi pengakuan bahwa Valinalah yang memasukan uang
itu ke dalam tas Erin pada saat istirahat tadi. Valina memasukan uang itu ke
dalam tas Erin saat tidak ada seorangpun yang berada di kelas. Sebenarnya
ketika sesudah dari kantin, ia ingin masuk ke kelas. Ia tidak sengaja melihat
Valina yang sedang mengendap-endap mendekati tas Erin lalu ia mengintipnya
lewat jendela kelas tanpa sepengetahuan Valina.
“Apa
benar itu, Valina?” tanya bu Veve menanyakan Valina.
Sialan si Hendri!, katanya di dalam
hati.
“Ti..
tidak kok, Bu! Saat istirahat tadi, saya bersama Ify sedang berada di kantin.
Mana mungkin saya memasukan uang kas situ ke dalam tas Erin, itu hal yang tidak
berguna, bu. Bila tidak percaya, tanyakan saja pada Ify, bu” Les Erin.
Saat bu
Veve menanyakan kepada Ify, Valina mengedipkan matanya berulang kali menandakan
Ify harus meng ’iya’ kan Valina. Ifypun menjawab bahwa ia memang benar pergi
bersama Valina saat istirahat tadi ke kantin untuk membeli jajan.
“Ya
sudah, akan ibu lihat di ruang monitor.” Kata bu Veve.
Kemudian,
bu Veve pergi berlalu melangkahkan kaki keluar meninggalkan kelas.
Sepulang
sekolah, Erin tidak seperti biasanya. Erin pulang sendirian, tanpa Devi. Devi
sedang menyelesaikan tugas sekolahnya terlebih dahulu di sekolah sehingga ia
tidak bisa pulang bersama Erin.
“Eriin!”
panggil Valina.
Erin
menengok ke belakang melihat Valina memangginya.
“Aku
tidak menyangka, ternyata orang yang selama ini aku anggap cupu adalah
pencuri!” bentak Valina.
Runtuh
hati Erin mendengar perkataan Valina mencaci maki dirinya.
“Apa
maksudmu bicara begitu, Lin?” tanya Erin.
“Alaaahh!
Jangan belagak sok polos deh! Aku tahu meski kamu kelihatan polos, tapi kamu
itu sebenarnya busuk! Dasar penipu!” gertak Valina.
Devi
melihat mereka berdua adu mulut di pinggir jalan depan sekolah sehinngga Devi
datang membela Erin meski tugasnya belum selesai.
“Apa
maksudmu menuduh sahabaku begitu?! Memangnya kamu punya bukti apa, ha?” bela
Devi.
“Aku kan
cuma bilang fakta kalau si cupu ini emang yang nyuri uangnya!” ujar Valina.
Devi
hendak memukul Valina namun dihalangi Erin.
“Jangan,
Vi!” teriak Erin melarang.
Devi
dikuasai oleh emosi sehingga ia tanpa sadar mendorong sahabatnya itu ke jalan.
“Minggir!”
kata Devi.
Dari
arah depan, ada motor yang melaju kencang. Alhasil, motor itu menelindas kaki
Erin sehingga Erin tak sadarkan diri.
“Ya tuhan!
Erin!” teriak Devi melihat sahabatnya tergeletak berdarah di tengah jalan.
“ Oh
tidak, Erin! Tolong! Tolong!” teriak Devi meminta pertolongan.
Spontan,
orang yang berada disekitar jalan itu mendekati Erin. Mereka dengan segera
membawa Erin ke rumah sakit. Valina melihat kejadian itu. Ia tersadar bila
orang yang selama ini disakitinya adalah orang baik-baik. Hati Valina luntur
karenanya. Ia merasa sangat bersalah atas perbuatanya yang telah menyakiti Erin
selama ini.
Fajar
menyingsing. Devi berangkat sekolah dengan perasaan bersalah. Kini ia sendiri.
Sahabat yang biasa menemaninya berangkat dan pulang sekolah, kini tergeletak
lemah di rumah sakit. Devi mengayunkan sepedanya perlahan sembari meneteskan
air matanya. Ia teringat bila di waktu pagi hari seperti ini, ia sedang tertawa
ria bersama Erin. Ia hanya merasakan kesedihan dan penyesalan yang dalam.
Devi
memasuki kelas. Ia lalu duduk di kursinya. Ia memandang tempat duduk
disebelahnya. Kosong. Hanya kursi kosong. Ya, itu adalah tempat dimana
sahabatnya duduk bersebelahan denganya. Kelas terasa sepi tanpa kehadiran Erin
yang selalu membuat Devi terseyum cerah. Semua kebahagiaan itu, tidak bisa ia
dapatkan hari ini.
“hei,
Vi! Dengar-dengar, Erin kecelakaan ya?” tanya Mala.
Devi
hanya menganggukan kepala. Ia tidak mau mengingat kejadian itu lagi.
“Bagaimana
keadaanya sekarang?” tanya Mala lagi.
“Oh
ayolah, Mala! Erin baik-baik saja kok! Sekarang ia dirawat di rumah sakit.”
Balas Devi.
“Dia
sa…” belum selesai Mala melanjutkan pertanyaanya, Devi memotongnya.
“Sssstttt!!!
Udah, udah, itu ada bu Veve.” Perintah Devi.
“Selamat
pagi anak-anak.” Sapa bu Veve.
“Anak-anak,
Erin hari ini tidak masuk karena kemarin mengalami kecelakaan di depan sekolah.
Erin menderita patah tulang kaki kiri dan luka ringan. Baiklah, Hari ini, ibu
akan menyampaikan jawaban atas permasalahan uang kas kemarin. Setelah ibu lihat
di CCTV, memang benar apa yang disampaikan Hendri bahwa Valinalah yang menaruh
uang kas tersebut ke dalam tas Erin.” terang bu Veve.
Spontan,
setelah bu Veve menyebut namanya, Valina langsung berdiri dan berjalan ke depan
kelas. Ia meminta maaf kepada teman-teman kelas 7A dan terutama kepada Erin
karena dia telah membuat nama baiknya tercemar. Valina juga yang merupakan
salah satu biang keladinya kecelakaan yang berujung patang tulang yang diderita
Erin. Ia mengaku sebagai orang yang memasukan Uang kas ke dalam tas Erin.
Valina mendapatkan uang kas itu saat ia mengunjungi ruang guru. Ia berpura-pura
bertanya tentang mapel IPS yang kebetulan tempat duduk guru mapel IPS terletak
bersebelahan dengan tempat duduk bu Veve. Ketika keular dari ruang guru, Ia
dengan sigap mengambil uang kas itu dan memasukanya ke dalam tas Erin agar Erin
mendapat reputasi buruk. Namun, kini ia telah mengerti bahwa semua yang telah
ia lakukan itu salah. Valina sudah siap menerima ejekan dan caci maki karena
menurutnya, ia memang pantas menerimanya.
Bu Veve
terkagum atas kejujuran Valina. Semuanya memberi tepuk tangan. Hati Valina
bergetar. Ia tak menyangka bahwa teman-temanya akan sebaik ini padanya. Selama
ini, Valina sudah terlalu jauh dengan teman-teman sekelasnya. Ia lebih suka
menyendiri. Namun, akhirnya ia mengerti, betapa indahnya pertemanan. Akhirnya,
bu Veve memberi nasehat agar Valina menghapus sifat iri kepada orang lain. Bu
Veve juga berpesan kepada Valina yang isinya buatlah kebajikan kepada setiap orang.
“Terima
kasih, Bu! Sekali lagi, saya minta maaf atas segala kelakuan dan perbuatan
buruku teman-teman.” Ucap Valina tulus meminta maaf.
Tidak
disadari, air matanya menetes, itulah air mata penyesalan. Ia sungguh menyesal
atas segala kelakuan buruknya.
Dewi Luna
sudah Nampak bersinar terah di atas permadani hitam bersama pelita malamnya.
Hari sudah larut malam. Devi masih berada di ayunan. Ia masih sedih bila
kejadian dua hari yang lalu ketika ia membuat sahabatnya terluka. Akhirnya, ia
putuskan untuk menjenguk Erin besok sore. Angin malam semakin terasa dibadan
Devi. Devi segera masuk kamar dan bersiap untuk tidur. Sebelum tidur, tak lupa
ia selalu berdo’a untuk kebaikan Erin. Ia lalu menarik selimutnya dan berannjak
tidur.
Esok
sorenya, Devi menjenguk Erin di rumah sakit. Devi membawa bunga berwarna ungu
untuk sahabatnya. Erin dirawat di ruang Anggrek, sama seperti bunga kesukaanya
Devi sampai di kamar nomor 12, nomor yang sama seperti tanggal kelahiran
Erin. Devi mengetuk pintu lalu masuk ke
dalamnya. Di ruangan itu, terlihat Erin yang tergeletak lemah. Kaki kirinya di
gantung dan dibidai sedangkan pelipis kananya dibalut oleh sehelai kain.
“Rin,
kamu masih marah, ya?” tanya Devi.
Erin
hanya tersenyum melihat kedatangan Devi.
“Erin,
aku minta maaf, karena aku, kamu jadi begini.” Devi mengucapkan maaf kepada
Erin.
“ Udah,
Vi. Nggak usah dibahas lagi. Sebelum kamu minta maaf, aku udah maafin kamu kok,
Vi. Justru seharusnya aku yang berterima kasih karena kamu telah membelaku dari
Valina, dan selalu berada disisiku apapun keadaanya.” Ucap Erin.
Mata
Devi berkaca-kaca mendegar kebesaran hatinya. Erin bak memiliki hati seorang
malaikat.
Terdengar
suara ketukan pintu. Pintu kamar itu terbuka. Valina datang membawa sekeranjang
buah. Ia lalu meletakannya di atas meja. Erin dan Devi terkejut atas kedatangan
Valina. Valina tersenyum melihat mereka berdua.
“Hai.”
Sapa Valina.
“Mau apa
kamu kesini? Apa kamu kurang puas udah mbuat Erin jadi begini?!” gertak Devi.
“Aku
hanya ingin menjenguknya saja.” Balas Valina denga tenang.
“Erin,
bagaimana keadaanmu?” tanya Valina.
“Udah
baikan kok, Lin. Makasih ya.“ jawab Erin.
Erin
merasa aneh dengan sikap Valina kali ini. Dia telah berubah.
“Rin,
aku minta maaf atas segala perbuatan dan kelakuan buruku kepadamu hingga
membuatmu jadi begini.” Valina memegang tangan Erin dengan penuh harap Erin
akan memaafkan segala kesalahanya.
“Iya,
aku udah maafin, Lin.” Jawab Erin berbesar hati.
Valina
tak kuasa menahan haru sehingga air matanya menetes keluar.
“Lin,
kenapa kamu menangis?” tanya Erin.
“Enggak,
ngga papa, Rin. Aku Cuma kelilipan aja.” Ucap Valina.
Erin
mencoba duduk meskipun ia masih sangat sulit untuk duduk. Erin lalu mengusap
air matanya. Hati Valina tersentuh oleh perlakuan Erin kepadanya. Valina lalu
melepaskan tangan Erin di wajahnya yang berlinang ar mata.
“Sudah,
Erin. Bila kau begini terus, aku akan tambah bersedih. Aku sangat tidak pantas
mendapat perlakuan seperti ini darimu mengingat kekejamanku yang teramat sangat
ketika dulu. Lebih baik, kau membalasku dengan caci makian, bukan seperti ini
caranya, Rin.” Gumam Valina.
“Lin,
sesama teman, kita harus saling menyayangi satu sama lain. Kita kan teman, Lin.
Aku tidak akan membiarkan temanku bersedih bila ada disampingku. Aku ingin
setiap orang yang mengenalku bahagia bisa bertemu denganku. Aku ingin membuat
hidup ini lebih indah.” Terang Erin.
“Teman
katamu?” tanya Valina tidak percaya.
“Iya,
Teman.” Balas Erin.
Air mata
Valina semakin deras ketika mendengar perkataan Erin yang begitu berarti
baginya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kedamaian hati yang sangat ketika
berada di dekat Erin.
“Apakah
kita bisa jadi teman, Rin?” tanya Valina.
“Tentu.
Kau adalah teman baikku, Lin!.”
--SELESAI--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar